Program transmigrasi telah dilaksanakan sejak masa kolonial, yaitu sekitar tahun 1905 dan pada masa kemerdekaan Republik Indonesia dilanjutkan kembali pada tahun 1951. Setelah kegiatan pelaksanaan program transmigrasi berlanjut terus dan mencapai puncaknya (secara kuatitatif) pada masa Pelita III dimana pada masa itu berhasil dipindahkan sejumlah 500.000 Kepala Keluarga.
Selama penyelenggaraan program transmigrasi telah dibuka lahan seluas 3,622 juta ha dan dibangun sejumlah 3.325 Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) yang tersebar di 21 propinsi, dan menampung 2.153.956 kk (± 8 - 10 juta jiwa) transmigran. Dalam perkembangan selanjutnya dari 82 UPT berkembang menjadi Ibu Kota Kecamatan dan sedikitnya ada 14 UPT yang telah berkembang menjadi Ibu Kota Kabupaten seperti Manggala di Propinsi Lampung, Pleihari di Propinsi Kalimantan Selatan, dan Timika di Propinsi Papua. Namun demikian tidak sedikit pula yang mengalami kegagalan sehingga UPT tersebut tidak dapat berkembang seperti yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari adanya 56 UPT yang beberapa tahun lalu termasuk UPT bermasalah yang memerlukan penanganan khusus. Bahkan sebagian diantaranya masuk dalam kwadran 3 (pendapatan dan kesejahteraan transmigran rendah). Ketidakberhasilan tersebut telah menimbulkan berbagai gejolak dan kritik sosial terhadap penyelanggaraan transmigrasi. Beberapa kritik yang tercatat diantaranya adalah bahwa program transmigrasi merupakan proyek pemindahan kemiskinan, merusak lingkungan hidup dan dianggap ikut memacu konflik sosial.
Penyebab kegagalan di berbagai UPT tersebut antara lain karena pelaksanaan program transmigrasi sebagaimana program dan kegiatan pembangunan lainnya hanya mengejar kepentingan ekonomi sesaat dan kurang memperhatikan atau mempertimbangkan aspek lingkungan sosial, budaya dan kondisi lingkungan hidup setempat. Disamping itu pembangunan transmigrasi banyak didominasi oleh pemerintah pusat dengan kebijakan dan langkah-langkah yang ditempuh banyak yang bersifat sentralistik sehingga mengakibatkan terabaikannya aspirasi dan kreativitas masyarakat setempat. Implikasi lebih jauh dan kebijakan tersebut adalah, pembangunan transmigrasi tidak dilaksanakan dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan lokal.
Saat ini dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah, penyelenggaraan transmigrasi akan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan permintaan masyarakat dan pemerintah daerah setempat dan diarahkan pada penciptaan insentif melalui pembangunan kawasan dalam rangka menciptakan dinamika ekonomi baru guna mengurangi problem kemiskinan, keterbelakangan dan pengangguran, sehingga terwujud kawasan transmigrasi yang berkelanjutan.
Di tahun-tahun mendatang ini pembangunan kawasan transmigrasi lebih diarahkan untuk menangani masalah pengungsi dan meningkatkan taraf hidup penduduk setempat yg miskin/menganggur. Pengungsi merupakan permasalahan yang mendesak untuk diatasi, karena dapat menimbulkan masalah lain seperti meningkatnya angka pengangguran dan kejahatan serta berbagai keresahan sosial lainnya. Saat ini jumlah pengungsi yang harus ditangani berjumlah 256.828 KK (1.256.516 jiwa).
Menilik hal tersebut maka di masa mendatang ini pembangunan kawasan transmigrasi harus melibatkan seluruh pihak terkait termasuk para pelaku langsung yakni para transmigran. Disamping itu integrasi aspek sosial, ekonomi, politik, budaya dan lingkungan hidup perlu mulai dikembangkan sejak dini di setiap tahapan pembangunan ketransmigrasian.
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2001 yang lalu sebagai berikut :
"Tidak banyak negara di dunia yang dianugrahi sumber daya alam yang demikian melimpah. Seandainya seluruh sumber daya alam tersebut selama ini kita kelola dengan baik, rakyat kita mestinya sudah dapat hidup dalam suasana yang jauh lebih sejahtera. Sekarang kita harus mencari akar penyebab mengapa keadaannya tidak demikian. Mungkinkan kekeliruan tersebut terletak pada visi dan strategi pembangunan yang pernah kita anut? Ataukah pada mekanisme dan prosedur kerja yang selama ini kita pergunakan? Ataukah pada demikian banyak penyimpangan dalam pelaksanaannya?"
Tujuan dan Kegunaan/Manfaat
- Tujuan
Tujuan penyusunan konsep ini adalah menyediakan rumusan yang lebih jelas dan tegas tentang konsep transmigrasi yang berwawasan lingkungan dalam rangka mewujudkan Kawasan Transmigrasi yang Berkelanjutan.
- Kegunaan/Manfaat
1. Sebagai acuan bagi unit kerja di lingkungan Depnakertrans dalam menyusun kebijakan Pengelolaan Lingkungan di kawasan transmigrasi.
2. Sebagai acuan dasar bagi unit kerja teknis di pusat maupun daerah dalam menyusun pedoman teknis maupun Petunjuk Pelaksanaan dalam mewujudkan Kawasan Transmigrasi yang Berwawasan Lingkungan.
3. Sebagai acuan Pola Kerja Aparat di Pusat, di Daerah dan Stakeholders dalam pembangunan Kawasan Transmigrasi yang Berwawasan Lingkungan.
Pengertian
Ekosistem ialah tatanan untsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.
Lingkungan hidup ialah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Sumberdaya ialah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya lam, baik hayati maupun non hayati, dan sumber daya buatan.
Daya dukung lingkungan hidup ialah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan / atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
Daya tampung sosial ialah kemampuan manusia dan kelompok penduduk yang berbeda-beda untuk hidup bersama sebagai suatu masyarakat secara serasi, selaras, seimbang, rukun, tertib dan aman.
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup ialah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, kedalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Pelestarian daya dukung lingkungan hidup ialah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan / atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan, agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
Pelestarian daya tampung lingkungan hidup ialah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan / atau komponen lain yang dibuang kedalamnya.
Pelestarian fungsi lingkungan hidup ialah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Pengelolaan lingkungan hidup ialah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.
Konservasi sumberdaya alam ialah pengelolaan sumberdaya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumberdaya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
Perusakan lingkungan hidup ialah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan / atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
Kerusakan lingkungan hidup ialah perubahan sifat fisik dan atau hayati lingkungan hidup.
Amdal ialah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hisup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Ketransmigrasian ialah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan transmigrasi.
Transmigrasi ialah perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di Wilayah Pengembangan Transmigrasi atau Lokasi Permukiman Transmigrasi.
Transmigran ialah warga negara Republik Indonesia yang berpindah secara sukarela ke Wilayah Pengembangan Transmigrasi atau Lokasi Permukiman Transmigrasi melalui pengaturan dan pelayanan Pemerintah.
Kawasan Transmigrasi ialah kawasan budidaya intensif direncanakan oleh pemerintah daerah untuk menampung perpindahan penduduk secara menetap dalam jumlah besar dengan susunan fungsi-fungsi kawasan sebagai tempat permukiman, pelayanan jasa, pemerintahan, sosial dan kegiatan ekonomi untuk menumbuhkan pusat pertumbuhan ekonomi.
BAB II PELAKSANAAN DAN PERMASALAHAN PROGRAM TRANSMIGRASI
Pelaksanaan Program
Dari aspek legal pertimbangan lingkungan telah dimasukkan pada pasal 2 UU No. 15 tahun 1997 tentang ketransmigrasian yang menyebutkan bahwa "Wawasan Lingkungan" merupakan salah satu azas dari 7 azas penyelenggaraan transmigrasi. Sedangkan dari segi organisasi sejak tahun 1983 berdasarkan pada Keputusan Menteri Transmigrasi No. Kep. 55a/MEN/1983 tentang Susunan Organisasi Departemen telah ada unit kerja yang menangani aspek lingkungan yaitu Direktorat Pendayagunaan Lingkungan pada Direktorat Jenderal Penyiapan Pemukiman. Akan tetapi sejak tahun 1994 berdasarkan Kepmen No. Kep 150/MEN/1994 tentang Susunan Organisasi Departemen, Direktorat Pendayagunaan Lingkungan dilikuidasi. Selanjutnya sejak tahun 2001 di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep 23/MEN/2001 tentang Susunan Organisasi Departemen, dibentuk kembali unit kerja yang menangani aspek lingkungan yaitu Direktorat Bina Cipta Keserasian Lingkungan.
Dalam tahap perencanaan transmigrasi aspek lingkungan telah dipertimbangkan, seperti (1) menggunakan areal hutan yang berstatus hutan yang dapat dikonversi, (2) rekomendasi penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan tanahnya, (3) pembatasan kelerengan, (4) pertimbangan aspek hidrologi. Sedangkan pada tahap pelaksanaan, pertimbangan aspek lingkungan telah dimasukkan dalam spesifikasi teknis pelaksanaan seperti (1) pengamanan jalur di sepanjang kiri - kanan sungai, (2) pembukaan lahan tanpa bakar, (3) pembukaan lahan secara manual dan/atau secara semi mekanis, (4) pembangunan bendali, konservasi tanah dan air dengan memanfaatkan bahan organik. Dalam tahap pembinaan masyarakat, telah dipertimbangkan aspek pembinaan sosial budaya maupun sosial ekonomi masyarakat seperti pengintegrasian budaya pendatang dengan budaya penduduk setempat, intensifikasi lahan pekarangan dan lahan usaha I, menjalin kemitraan pengusaha dan pembentukan koperasi.
Permasalahan
Meskipun pengintegrasian aspek lingkungan telah dilakukan dalam penyelenggaraan transmigrasi, namun dalam perjalanan pelaksanaannya masih ditemui berbagai kelemahan, terbukti bahwa pada dekade awal 1990-an masih ada beberapa golongan / kelompok masyarakat atau institusi, baik di dalam maupun di luar negeri yang kurang setuju terhadap penyelenggaraan transmigrasi karena program ini dianggap menjadi penyebab timbulnya masalah-masalah sebagai berikut :
1. Memberi sumbangan terhadap pengurangan luas hutan hujan tropis di Indonesia.
2. Memberi sumbangan terhadap proses degradasi lahan dan tidak memanfaatkan lahan secara efisien.
3. Memberi sumbangan terhadap berkurangnya keanekaragaman hayati dan sumber plasma nuftah.
4. Melanggar hak azasi manusia karena setengah memaksa dengan berbagai penerangan dan kampanye agar orang mau bertransmigrasi dengan imbalan tertentu.
5. Menciptakan eksklusifisme dan diskriminasi yang menyebabkan kecemburuan dan memicu terjadinya konflik sosial di daerah transmigrasi.
6. Jawanisasi dan memarjinalkan etnis lokal.
Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar, tetapi memang dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa kelemahan dalam mengimplementasikan program yang belum sepenuhnya mengikuti ketentuan atau prosedur teknis yang berlaku, lingkungan strategis yang kurang mendukung dan paradigma penyelenggaraan transmigrasi yang tidak sesuai. Timbulnya masalah tersebut di atas disebabkan oleh antara lain sebagai berikut :
1. Penyelenggaraan yang Bersifat Teknosentris dan Sentralistik
Selama ini penentuan kebijakan dan penyusunan program penyelenggaraan transmigrasi banyak dilakukan terpusat di Jakarta dan top down. Selain itu kegiatan penyelenggaraan transmigrasi banyak dianggap sebagai pekerjaan yang bersifat teknis, atau didekati dengan pendekatan yang bersifat teknis. Ketentuan-ketentuan teknis tentang pengaturan perencanaan permukiman, pola usaha, hak transmigran dan pembinaan transmigran dianggap sama dan distandarisasi untuk seluruh Indonesia. Sedangkan para transmigrannya dianggap sebagai obyek yang dapat diatur dimana aspirasinya kurang mendapat perhatian.
2. Target Penyelenggaraan Transmigrasi Bersifat Kuantitatif Ketimbang Bersifat Kualitatif
Ukuran keberhasilan penyelenggaraan transmigrasi selama ini adalah besarnya transmigran yang dapat dipindahkan atau jumlah Unit Pemukiman TRansmigrasi (UPT) yang berhasil dibangun. Dibanding dengan pendekatan kualitatif, pendekatan kuantitatif memang dapat lebih cepat diketahui hasilnya dan lebih mudah diukur namun kita harus "membayar" kebijakan ini berupa kurangnya perhatian terhadap kualitas hidup transmigran dan kualitas penyelenggaraan transmigrasi, yang kemudian berakibat tidak tercapainya kesejahteraan para transmigran seperti yang diharapkan.
3. Pendekatan yang Bersifat Parsial
Selama ini pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan transmigrasi seolah-olah berdiri sendiri, tidak ada keterpaduan. Padahal kegiatan penyelenggaraan transmigrasi merupakan suatu rangkaian yang terkait satu dengan yang lainnya. Demikian juga koordinasi antar unit kerja pelaksana kegiatan transmigrasi juga kurang. Hal ini terjadi antara lain karena yang menjadi ukuran keberhasilan unit kerja tersebut adalah tercapainya target transmigran yang dipindahkan (yang lebih banyak ditentukan oleh anggaran) ketimbang tercapainya target kesejahteraan transmigran.
Upaya Perbaikan
Dengan telah ditemukenalinya faktor-faktor penyebab tersebut telah dilakukan upaya perbaikan yang lebih mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan, antara lain, sebagai berikut :
1. Mempertimbangkan, mengembangkan dan mengintegrasikan desa lama yang ada (existing) dengan permukiman baru.
Untuk mencegah timbulnya kesan program transmigrasi bersifat eksklusif dan tidak menghargai budaya serta hak warga setempat, maka pembangunan permukiman transmigrasi tidak boleh terpisah jauh dari desa asli yang ada. Pembangunan permukiman transmigrasi harus terintegrasi dengan desa asli yang ada dengan pengertian desa asli bersama warganya mendapat prioritas pertama dari program transmigrasi yang diwujudkan dalam bentuk pembangunan / rehabilitasi prasarana dan sarana yang ada serta upaya-upaya pemberdayaan warga lokal.
2. Meningkatkan Kegiatan Land Clearing Menjadi Land Development
Kegiatan land clearing dilaksanakan dengan target akhir berupa tersedianya lahan yang siap tanam. Namun pada kenyataannya yang sering terjadi hanyalah lahan yang siap olah, bukan siap tanam. Hal ini dikarenakan (1) areal yang dibuka berupa hutan dengan tegakan kayu yang cukup rapat dan besar, atau (2) kegiatan land clearing untuk mencapai target luas areal yang dibuka dilaksanakan dengan pendekatan pekerjaan sipil (civil work). Implikasi dari hal ini adalah digunakannya alat-alat berat dengan spesifikasi untuk pekerjaan sipil tanpa mengindahkan aspek-aspek konservasi tanah. Fakta-fakta lapangan ini mendorong lahirnya tindakan-tindakan koreksi berupa langkah-langkah atau praktek untuk melakukan pengembangan lahan (land development) secara menyeluruh ketimbang praktek land clearing saja.
3. Penerapan Pendekatan Sosial Budaya
Warga Transmigran yang pada umumnya warga transmigran relatif lebih berdaya dari masyarakat lokal, ditambah lagi sifat penyelenggaraan transmigrasi yang cenderung eksklusif mengakibatkan timbulnya ekses negatif penyelenggaraan transmigrasi seperti (1) kecemburuan masyarakat lokal, (2) dianggap jawanisasi bahkan penghapusan etnis. Dengan pendekatan sosial budaya maka (1) eksistensi, adat istiadat dan kepentingan masyarakat lokal diperhatikan, (2) masyarakat lokal dan transmigran diperlakukan sama dan setara. Dengan pendekatan seperti ini maka masyarakat lokal sekitar kawasan transmigrasi dapat menerima secara terbuka dan memperoleh manfaat dari kedatangan transmigran.
BAB III TRANSMIGRASI DALAM KONTEKS PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Secara konseptual, pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan yang akan diperlukan oleh benerasi mendatang. Konsepsi ini mengandung bebarapa makna penting, yaitu :
1. pemenuhan kebutuhan generasi saat ini terkandung pengertian mengatasi pula kemiskinan di negara-negara berkembang,
2. kemampuan untuk mengendalikan dan mendistribusikan secara seimbang kebutuhan intra generasi ini sangat ditentukan oleh teknologi dan kemampuan organisasi-organisasi sosial yang berkembang di masyarakat,
3. mendorong tumbuhnya keadilan dalam pemenuhan kebutuhan manusia baik inter maupun intra generasi.
Implikasi dari faham pembangunan berkelanjutan ini adalah perlunya sejak jauh-jauh hari diambil langkah-langkah untuk mengurangi tekanan eksploitasi sumberdaya alam, mengembangkan teknologi yang lebih adaptif dengan kondisi ekologi, serta membangun dan menjamin terciptanya akses yang seimbang ke sumber-sumber alam yang terbatas jumlahnya.
Komisi Bruntland, yang menelurkan konsepsi pembangunan berkelanjutan ini, merekomendasikan 7 (tujuh) kebijakan untuk pembangunan dan lingkungan adalah sebagai berikut :
1. Memikirkan kembali makna pembangunan.
2. Merubah orientasi pembangunan dari pertumbuhan ekonomi sebagai tolok ukur kemajuan pembangunan kepada mutu hasil pembangunan.
3. Memenuhi kebutuhan dasar yang berupa lapangan kerja, makanan, energi, air dan sanitasi.
4. Menjamin terciptanya keberlanjutan pada tingkat pertumbuhan tertentu.
5. Mengatur keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi sumberdaya.
6. Merubah arah perkembangan teknologi dan mengelola resiko.
7. Memadukan pertimbangan lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan.
Ada 2 (dua) hal penting yang perlu diketahui dalam menyikapi kebijakan pembangunan dan lingkungan yang direkomendasikan oleh komisi Bruntland sebagai berikut :
1. Pertumbuhan adalah penting untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, akan tetapi pembangunan berkelanjutan lebih dari sekedar pertumbuhan. Oleh karena itu, dipandang perlu melakukan perubahan dalam memandang hakekat pembangunan sebab sendi-sendi utama pembangunan yang dianut oleh sebagian besar negara di dunia adalah pada ekonomi kapitalisme yang salah satu penggerak utamanya terletak pada peningkatan konsumsi barang dan jasa, yang justru banyak memacu derasnya eksploitasi sember daya alam.
2. Masalah kerusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan yang melanda berbagai belahan dunia tidak dapat dipecahkan hanya melalui kekuatan teknologi atau institusi sosial. Karena salah satu penyebab utama kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan justru terletak pada tatanan struktur sosial, ekonomi dan politik yang tumbuh di berbagai masyarakat dan negara, yang tidak kondusif untuk keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan.
Agenda 21 Indonesia
Konperensi Bumi yang diadakan tahun 1992 di Rio de Janeiro telah menghasilkan Agenda 21, yakni suatu program aksi untuk mempersiapkan dunia menghadapi tantangan Abad 21 agar kualitas hidup manusia terus meningkat dan pembangunan terus berlanjut. Ini berarti bahwa kondisi tersebut dapat tercapai bila bumi dengan segala isi dan kehidupannya terjamin kelestariannya.
Agenda 21 merupakan pemulihan (transformasi) dari konsep pembangunan berkelanjutan yang berupa wacana menjadi pengikatan diri (commitment) dan arahan untuk melakukan tindakan nyata secara lokal dan kerjasama global secara terarah. Ada 7 (tujuh) aspek penting yang menjadi penekanan Agenda 21, yakni :
1. kerjasama internasional,
2. pengentasan kemiskinan,
3. perubahan pola konsumsi,
4. pengendalian kependudukan,
5. perlindungan dan peningkatan kesehatan,
6. peningkatan permukiman secara berkelanjutan,
7. integrasi lingkungan dalam pengambilan keputusan untuk pembangunan.
Dimensi sosial ekonomi dan politik Agenda 21 tersebut selanjutnya oleh masing-masing negara diterjemahkan menjadi program-program dan tindakan aksi lokal yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing. Untuk Indonesia, ada 4 (empat) aspek yang menjadi prioritas nasional untuk pembangunan berkelanjutan seperti tercantum dalam agenda 21 Indonesia, yaitu :
1. pelayanan masyarakat (human services),
2. pengelolaan limbah,
3. pengelolaan sumberdaya tanah,
4. pengelolaan sumberdaya alam.
Transmigrasi dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan
Penyelenggaraan transmigrasi yang sarat dengan berbagai masalah seperti yang diutarakan pada Bab II pada dasarnya merupakan buah dari diterapkannya paradigma yang bersifat mekanistik oleh para penyelenggara pembangunan. Disadari atau tidak, para penetap kebijakan, pengambil keputusan, hingga para pelaksana teknis di lapangan menggunakan pola fikir, asumsi-asumsi dan aturan-aturan yang bersifat mekanistik, teknosentris, linier dan reduksionistik. Dalam paradigma mekanistik ini terkandung karakter : hubungan manusia dan alam saling terpisah (manusia mendominasi), menekankan aspek kuantitatif, satu arah, subyek dan obyek saling terpisah, dan teknologi dipandang sebagai unsur budaya yang dapat meningkatkan daya dukung seluas-luasnya. Karakter penting lainnya adalah sifatnya yang sentralistik, parsial dan keinginan untuk penyeragaman (homogenitas), sehingga cenderung terpacu disintegrasi (Capra, 1999).
Paradigma yang berakar dari hukum gerak Newton dan pemikir-filsof Descartes ini memang banyak membawa kemajuan pada kehidupan manusia, seperti sarana transportasi darat, laut dan udara, sistem persenjataan, dan konstruksi bangunan. Namun perjalanan peradaban manusia kemudian menunjukkan bahwa paradigma mekanistik ini ternyata gagal bila diterapkan pada sistem kehidupan seperti kehidupan sosial, pengelolaan hutan, pengelolaan danau dan sungai, atau bahkan kawasan transmigrasi. Paradigma yang telah menghujam lama dan berakar pada setiap individu dan kelompok atau golongan masyarakat modern ini telah menjadi inti dari berbagai akar masalah timbulnya kerusakan ekosistem hutan, degradasi keanekaragaman hayati, pencemaran ekosistem sungai dan laut, dan berbagai masalah lingkungan hidup yang kita jumpai saat ini.
Menurut Capra (1999) paradigma yang lebih tepat untuk penanganan atau pengelolaan suatu sistem kehidupan adalah paradigma ekologi. Paradigma ini berciri organik, sistemik, partisipasif, non-linier dan eksosentris. Karakter utamanya terletak pada hubungan manusia dan alam yang saling sinergi - tidak terpisah, penekanan pada kualitatif, dua arah, subyek dan obyek saling interaktif, dan ekologi menjadi penentu daya dukung lingkungan. Karakter lain dari paradigma ekologi ini adalah adanya sifat desentralisasi, menerapkan pendekatan multi dimensi dan penghargaan kepada pluralitas (kemajemukan) sehingga terwujud kerjasama atau integrasi.
Bertitik tolak dari penyelenggaraan transmigrasi dengan berbagai macam permasalahan seperti yang diutarakan pada Bab II, maka saatnya menerapkan suatu paradigma yang lebih tepat dalam penyelenggaraan transmigrasi, yakni paradigma ekologi.
BAB IV PEMBANGUNAN KAWASAN TRANSMIGRASI BERWAWASAN LINGKUNGAN
Visi dan Misi Direktorat Jenderal Sumberdaya Kawasan Transmigrasi
- Visi
Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sumberdaya Kawasan Transmigrasi (Ditjen PSKT) telah meletakkan Visi pemberdayaan untuk sumberdaya kawasan transmigrasi sebagai berikut :
"Terwujudnya kawasan transmigrasi sebagai pusat-pusat pertumbuhan di daerah sesuai kebutuhan pengembangan daerah yang bersangkutan secara berkelanjutan dan akrab lingkungan"
- Misi
Adapun misi Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sumberdaya Kawasan Transmigrasi adalah sebagai berikut :
a. Mewujudkan sistem ketatalaksanaan yang didukung oleh tersedianya data dan informasi serta unit kerja yang kolaboratif guna mendorong terlaksananya pemberdayaan sumberdaya kawasan transmigrasi.
b. Mengembangkan dan memfasilitasi kebijakan penentuan kawasan potensial untuk pembangunan kawasan transmigrasi di dalam kawasan strategis, kawasan cepat tumbuh, kawasan tertinggal dan kawasan perbatasan.
c. Mengembangkan dan memfasilitasi kebijakan perwujudan peningkatan kualitas perencanaan dan pembangunan kawasan yang memenuhi standar kelayakan untuk permukiman dan pengembangan usaha ekonomi yang bersangkutan.
d. Mengembangkan dan memfasilitasi kebijakan pendayagunaan sumberdaya yang tersedia di dalam kawasan secara optimal termasuk pemanfaatan teknologi tepat guna untuk memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan kawasan transmigrasi.
e. Mengembangkan dan memfasilitasi kebijakan peningkatan peluang usaha serta minat investasi pihak swasta dan masyarakat untuk mendorong percepatan pertumbuhan kawasan dalam bentuk kemitraan yang setara, saling menguntungkan dan berkeadilan.
f. Menyiapkan kebijakan pelestarian fungsi lingkungan hidup di kawasan transmigrasi untuk mewujudkan pembangunan kawasan transmigrasi secara berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Konsepsi Kawasan Transmigrasi Berwawasan Lingkungan
Kawasan transmigrasi berwawasan lingkungan adalah kawasan transmigrasi yang sejak tahap perencanaan, penyiapan, penghunian hingga tahap pengembangan pemukiman difasilitasi agar sumber daya alam dan lingkungan hidup yang ada di kawasan tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan para transmigran dan penduduk sekitar.
Dalam konsepsi ini terkandung pengertian bahwa kawasan transmigrasi berwawasan lingkungan bukan merupakan tujuan yang hendak dicapai melainkan proses yang harus diwujudkan di setiap tahapan kegiatan pembangunan kawasan transmigrasi. Pandangan ini berbeda dengan sebelumnya dimana keberhasilan pembangunan transmigrasi lebih diletakkan pada ukuran-ukuran output, seperti target pendapatan transmigran yang harus dicapai sejak tahun pertama penempatan hingga setelah tahun kelima penempatan. (T+5), target produktivitas lahan, atau target berupa berdirinya KUD pada T + 2.
Peletakan perhatian pada sisi proses ketimbang output ini merupakan hal mendasar dalam membangun kawasan transmigrasi yang berwawasan lingkungan. Sebab di dalam konsep kawasan transmigrasi yang berwawasan lingkungan tersebut terkandung makna bahwa :
1. kebutuhan hidup yang hendak dipenuhi oleh transmigran dan penduduk sekitar sangat ditentukan oleh orientasi nilai budaya masyarakat bersangkutan, tujuan-tujuan yang hendak dicapai, situasi ekonomi dan kondisi sember daya alam. Ini berarti bahwa ukuran-ukuran keberhasilan sangat kontekstual, spesifik lokasi dan khas menurut pandangan masyarakat bersangkutan ;
2. pemenuhan kebutuhan hidup para transmigran dan penduduk sekitar pada dasarnya sangat ditentukan oleh teknologi, pranata-pranata sosial - ekonomi yang ada serta kondisi sumber daya alam dan ekologi di kawasan transmigrasi. Ini berarti bahwa yang utama dalam membangun kawasan transmigrasi adalah meningkatkan kemampuan transmigran untuk membangun pranata-pranata sosial - ekonomi dan memfasilitasi terpeliharanya keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam di kawasan transmigrasi.
Konsep ini membawa implikasi bahwa di masa mendatang Ditjen PSKT beserta segenap jajarannya harus menempuh kebijakan dan langkah-langkah yang berciri sebagai berikut.
1. Menyusun kebijakan pengelolaan sumber daya di kawasan transmigrasi yang berorientasi jangka panjang mengingat persoalan-persoalan sumber daya alam dan lingkungan pengaruhnya baru terlihat dalam jangka panjang.
2. Menumbuhkan kesamaan pandang dan komitmen di segenap jajaran Depnakertrans, khususnya Ditjen PSKT, untuk membangun kawasan transmigrasi yang ramah lingkungan.
3. Membangun jejaring kerjasama (net working) yang efektif dan terarah dengan berbagai kalangan, terutama pemerintah daerah, untuk memfasilitasi pembangunan kawasan transmigrasi yang ramah lingkungan.
Untuk dapat melaksanakan konsepsi Kawasan Transmigrasi Berwawasan Lingkungan tersebut diperlukan komitmen bersama untuk mematuhi dan melaksanakan prinsip-prinsip, strategi, arak kebijakan dan program berikut.
Prinsip-prinsip
Beberapa prinsip yang harus menjadi jiwa pembangunan kawasan transmigrasi yang berwawasan lingkungan adalah sebagai berikut :
- Mengindahkan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan
Membangun kawasan transmigrasi tanpa mengindahkan daya dukung dan daya tampung lingkungan akan membawa implikasi tidak terjaminnya keberlanjutan transmigrasi sebagai fondasi bagi peningkatan kesejahteraan transmigran. Oleh karena itu menjadi penting dalam membangun kawasan transmigrasi diterapkan azas hemat dan efisien dalam menggunakan sumberdaya alam yang ada. Kebijakan yang dapat digunakan untuk memandu implementasi azas hemat dan efisien ini adalah kebijakan alokasi ruang sebagaimana tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK). Untuk mewujudkan azas hemat dan efisien tersebut pemrakarsa pembangunan kawasan transmigrasi harus :
a. mengembangkan pola usaha yang adaptif terhadap kondisi ekologis setempat, sehingga sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara lestari untuk peningkatan taraf hidup transmigran dan generasi mendatang secara berkelanjutan,
b. mengembangkan kawasan transmigrasi yang dikemudian hari berkembang sebagai kawasan ekonomi yang produktif tanpa melampaui daya dukung dan daya tampung kawasan.
Berkenaan dengan hal tersebut, dan memperhatikan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 pasal 19 ayat a (yang menyatakan bahwa salah satu persyaratan yang diwajibkan untuk dapat melaksanakan pembangunan adalah kesesuaian dengan tata ruang yang berlaku), maka setiap rencana pembangunan kawasan transmigrasi menjadi penting untuk senantiasa sesuai dengan RTRWP dan atau RTRWK.
- Orientasi ke Mutu
Di masa mendatang, target keberhasilan pembangunan kawasan transmigrasi tidak tepat lagi diletakkan pada jumlah transmigran yang ditempatkan, atau jumlah permuiman yang dibangun. Pengalaman masa silam menunjukkan bahwa strategi yang condong mengarah ke push - factor ini ternyata, kurang efektif dan menimbulkan banyak persoalan. Strategi pembangunan kawasan transmigrasi, harus diubah dari strategi push-pull factor menjadi strategi membangun unit-unit permukiman yang bermutu tinggi. Dengan menerapkan prinsip ini, di masa mendatang pembangunan kawasan transmigrasi akan mampu menjamin peningkatan taraf hidup transmigran secara berkelanjutan. Tidak hanya itu, pembangunan kawasan transmigrasi juga harus dikembangkan sebagai satu kesatuan dengan wilayah sekitarnya sehingga keduanya berkembang sebagai satu kesatuan dengan wilayah sekitarnya sehingga keduanya berkembang sebagai satu kesatuan sistem kehidupan seperti yang diutarakan pada prinsip ketiga berikut ini.
- Pendekatan Sistem Manajemen
Pendekatan sistem sesungguhnya telah lama digunakan dalam menyusun konsep-konsep pembangunan kawasan transmigrasi. Namun pendekatan ini masih belum berjalan sebagaimana diharapkan. Padahal pendekatan sistem, yang merupakan salah satu ciri penting dari penerapan paradigma ekologi, baru bermakna bila segenap kebijakan, program, kegiatan, pedoman, prosedur dan praktek-praktek penyelenggaraan pembangunan kawasan transmigrasi dicurahkan dan diarahkan untuk perencanaan, pengembangan, pelaksanaan, koordinasi, pemantauan dan pencapaian kondisi kawasan transmigrasi yang akrab lingkungan.
Manajemen pembangunan kawasan transmigrasi dengan demikian harus dipandang sebagai suatu siklus manajemen yang memiliki mekanisme umpan balik. Bila mekanisme ini dapat berjalan efektif maka terbangunlah suatu sistem manajemen yang antisipatif dan luwes (flexible) dalam menghadapi perubahan-perubahan yang semakin dinamis di masa mendatang.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka peran Direktorat Bina Cipta Keserasian Lingkunga (BCKL) menjadi vital. Direktorat BCKL akan menjalankan kiprahnya dengan memfasilitasi atau mendorong lahirnya berbagai kebijakan teknis, prosedur, pedoman dan praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya kawasan transmigrasi yang berkelanjutan.
Fasilitasi ini ditujukan kepada Direktorat-Direktorat di Lingkungan Ditjen PSKT dan pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota yang melakukan kegiatan perencanaan, implementasi, pemeriksaan dan evaluasi pemberdayaan dan pengembangan sumberdaya kawasan transmigrasi.
Pendekatan sistem manajemen ini membawa implikasi sebagai berikut :
a. Pengelolaan lingkungan hidup di kawasan transmigrasi bukan merupakan kegiatan yang "terpisah" dari kegiatan keseharian pemberdayaan sumberdaya kawasan transmigrasi. Hal ini harus terintegrasi dengan seluruh kegiatan dan proses ketransmigrasian,
b. Pembangunan kawasan transmigrasi yang berwawasan lingkungan bukan merupakan "milik" atau tanggung jawab Direktorat BCKL saja, tetapi juga merupakan tanggung jawab dari seluruh unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal PSKT, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Bahkan lebih dari itu juga merupakan milik atau tanggung jawab para pihak yang berkepentingan (stake holder) atau terlibat dengan kegiatan perencanaan, penyiapan kawasan, pengarahan dan fasilitasi pengembangan transmigran, baik di tingkat pusat maupun daerah.
c. Kawasan transmigrasi termasuk masyarakat lokal di dalamnya harus dipandang sebagai suatu kesatuan sistem ekonomi, sosial dan ekologi. Sebagai satu kesatuan sistem ekonomi, kedua wilayah atau kawasan tersebut harus memiliki prinsip menguatnya ekonomi lokal.
- Memperkuat Ekonomi Lokal
Kehadiran kawasan transmigrasi di tengah-tengah kehidupan masyarakat lokal harus bersifat saling sinergi. Kegiatan ekonomi keduanya harus dikembangkan saling sinergi sehingga membangun satu kesatuan kehidupan ekonomi lokal. Ekonomi lokal yang dimaksud di sini adalah kehidupan ekonomi yang bersumber dari kemampuan lokal, dalam memanfaatkan dan mengubah sumberdaya di kawasannya untuk peningkatan kesejahteraannya secara berkeadilan dan berkelanjutan. Ini berarti bahwa tumpuan utama ekonomi di kawasan transmigrasi dan sekitarnya terletak pada dua hal pokok, yaitu (a) pranata-pranata ekonomi yang tumbuh kuat di kalangan masyarakat, dan (b) pemanfaatan secara berkelanjutan sumberdaya di kawasan transmigrasi dan sekitarnya.
Konsepsi ini membawa implikasi bahwa untuk mempercepat peningkatan taraf hidup masyarakat setempat dan para transmigran, diperlukan dua upaya sekaligus : pemberdayaan kekuatan ekonomi transmigran dan kekuatan ekonomi masyarakat setempat. Keduanya harus dipandang sebagai suatu kesatuan (entuty) ekonomi yang tidak terpisahkan. Pola-pola usaha yang akan dikembangkan di kawasan transmigrasi disamping harus adaptif secara ekologis, juga harus sinergi dengan pola usaha yang telah berkembang di masyarakat setempat dan bahkan kemudian mempercepat perputaran roda perekonomian kawasan setempat. Demikian pula kegiatan ekonomi masyarakat setempat yang telah lama berkembang diberdayakan dan diperkuat institusi-institusinya agar berkembang sinergi dengan kawasan transmigrasi.
- Memperkuat Pranata Masyarakat Lokal
Indonesia adalah negara yang penuh keragaman dalam suku dan budaya yang tersebar pada ribuan pulau besar dan kecil. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari memiliki pranata yang khas dalam wujud adat istiadat, kebiasaan dan larangan, prosesi keagamaan yang berbeda dengan wujud pranata yang bersal dari luar. Pranata yang datang dari luar mungkin tidak seluruhnya relevan dengan pranata yang ada pada tatanan masyarakat lokal. Pranata pada tingkat masyarakat lokal harus diperkuat dan dikembangkan sehingga dapat bersinergi dengan pranata yang baik dan sesuai dengan pranata yang datang dari luar. Dengan demikian masyarakat lokal dan pendatang sebagai masyarakat baru dapat berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan.
Strategi
- Integrasi Aspek Lingkungan dalam Kebijakan, Pedoman dan Prosedur Pembangunan Kawasan Transmigrasi
Pendekatan sistem membawa implikasi strategis bahwa pembangunan kawasan transmigrasi sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, pemeriksaan dan pengendalian harus dipandang dan ditangani sebagai satu kesatuan sistem manajemen. Ini mengandung makna bahwa para pelaku atau penyelenggara kawasan transmigrasi, yang terdiri dari berbagai institusi pemerintahan di daerah dan pusat, harus bekerja dalam suatu kerangka kerja yang sistemik.
Berkenaan dengan hal tersebut dan sejalan dengan adanya kebijakan otonomi daerah, maka salah satu strategi penting yang akan ditempuh oleh Direktorat Jenderal PSKT adalah mengintegrasikan pertimbangan atau aspek-aspek lingkungan ke dalam setiap kebijakan, pedoman, prosedur dan praktek-praktek untuk mewujudkan pemberdayaan sumberdaya kawasan transmigrasi secara berkelanjutan.
Secara garis besar aspek-aspek lingkungan diintegrasikan dalam tahapan pembangunan transmigrasi sebagai berikut :
1. Integrasi aspek-aspek lingkungan pada tahap perencanaan, penyiapan pemukiman dan pemberdayaan sumberdaya kawasan transmigrasi. Pengintegrasian ini ditujukan kepada setiap kebijakan, pedoman, prosedur teknis dan langkah-langkah yang dipandang akan berpengaruh atau memberi pengaruh terhadap keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya di kawasan transmigrasi. Pada Gambar terlampir diutarakan integrasi aspek-aspek lingkungan di setiap tahap dari siklus kegiatan ketransmigrasian.
2. Implementasi kegiatan pengawasan (supervision/on site surveilance), pemantauan dan penanganan dampak lingkungan (impact mitigation) pada kegiatan-kegiatan pembangunan, pengarahan, penempatan, dan pemberdayaan sumberdaya kawasan transmigrasi. Pemantauan, pengawasan dan inspeksi lingkungan (on site surveillance), merupakan kegiatan umpan balik (feed back) yang bersifat memberikan masukan terhadap adanya ketidaktepatan atau penyimpangan yang terjadi untuk kemudian menjadi landasan kerja bagi tindakan koreksi dan pencegahan.
- Pendekatan "Kewilayahan" Ekologi
Pendekatan pembangunan kawasan transmigrasi yang berwawasan lingkungan juga harus didasarkan pada pendekatan kewilayahan yang mengarah pada suatu kesatuan ekologi seperti ekologi pantai, ekologi dataran tinggi, ekologi rawa pasang surut, ekologi mangrove.
- Konservasi dan Rehabilitasi
Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk menjamin keberlanjutan pemenfaatan sumberdaya di kawasan transmigrasi adalah konservasi sumber daya alam dan rehabilitasi terhadap sumber daya alam yang telah mengalami kerusakan.
Pengertian konservasi disini tidak sempit, justru luas yakni mencakup upaya - upaya secara sadar dan terencana untuk melindungi, dan memanfaatkan secara lestari sumberdaya alam. Dengan strategi ini maka sumberdaya yang masih berada dalam keadaan yang relatif baik akan dicegah dari proses degradasi, sementara yang telah mengalami kerusakan direhabilitasi untuk ditingkatkan kemanfaatannya. Upaya konservasi dan rehabilitasi ini terutama diarahkan pada aspek hutan, tanah dan air.
- Pendekatan Keterpaduan Program
Pendekatan proyek dan kuatnya egosektoral mengakibatkan terjadinya pengkotak-kotakan pembangunan di kawasan transmigrasi, hal ini membuat pembangunan kawasan transmigrasi menjadi tidak sinergik, keterpaduan program diarahkan untuk mengintegrasikan pembangunan kawasan transmigrasi pada instansi lain, baik di tingkat pusat maupun daerah, dunia usaha dan masyarakat. Keterpaduan ini akan menjamin efisien dan efektifitas. Penggunaan sumberdaya manusia, energi, waktu dan sumberdaya lainnya dalam mencapai tujuan pembangunan transmigrasi berwawasan lingkungan tersebut.
- Membangun Social Trust
Dalam pendekatan sosial budaya untuk mencapai keserasian lingkungan di kawasan transmigrasi, beberapa hal mendasar yang perlu dipertimbangkan, yaitu asas (1) keterbukaan, (2) keadilan dan manfaat bagi semua yang berkepentingan serta (3) adanya kepastian hukum. Pendekatan tersebut dimulai dari (1) penyampaian informasi mengenai rencana pembangunan kawasan transmigrasi kepada penduduk daerah yang direncanakan, (2) pengumpulan feed back dari penduduk daerah yang dituju, (3) diadakan konsultasi, (4) pelibatan penduduk yang lebih jauh dalam perencanaan dan (5) perencanaan bersama yang selalu memperhatikan kepentingan seluruh stake holder terkait.
- Pemberdayaan dan Pelibatan Masyarakat
Aspek kunci ini dalam pembangunan berkelanjutan meliputi pemberdayaan masyarakat lokal, swasembada dan keadilan sosial. Orientasi prinsip ini diarahkan pada peningkatan kualitas sumberdaya masyarakat. Dalam konteks ini maka pembangunan kawasan transmigrasi dilakukan dalam rangka menanggulangi kemiskinan melalui proses meningkatkan kemampuan individu dan kelembagaan mereka untuk mengelola sumberdaya yang tersedia. Kondisi ini akan membentuk peningkatan mutu kehidupan transmigran dan masyarakat setempat secara secara berkelanjutan dan adil sesuai dengan aspirasi mereka.
- Keseimbangan Kepentingan Ekonomi dan Lingkungan
Keseimbangan kepentingan ekonomi dan lingkungan merupakan kata kunci untuk strategi pengembangan kawasan transmigrasi. Melalui keseimbangan dua hal pokok inilah akan dapat terjamin terwujudnya suatu kawasan transmigrasi yang diharapkan. Keseimbangan kepentingan ekonomi dan lingkungan ini tercermin atau dapat diwujudkan terutama pada tingkat kebijakan dan perencanaan pembangunan kawasan transmigrasi. Penetapan pola usaha, pola permukiman dan strategi pengembangan ekonomi kawasan merupakan titik-titik kritis bagi penentuan keseimbangan kepentingan ekonomi dan lingkungan. Analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) merupakan salah satu instrumen kebijakan pada tahap perencanaan yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan penting terhadap terciptanya keseimbangan ekonomi dan lingkungan di kawasan transmigrasi.
Arah Kebijakan
Berkenaan dengan konsepsi kawasan transmigrasi yang berwawasan lingkungan sebagaimana diutarakan di atas, serta prinsip-prinsip yang telah diutarakan pula, maka arah kebijakan yang perlu ditempuh oleh Ditjen PSKT Depnakertrans, adalah :
1. mengintegrasikan pertimbangan lingkungan (ekologi) ke dalam berbagai kebijakan teknis, pedoman, panduan prosedur dan praktek-praktek yang digunakan untuk kegiatan perencanaan, penyiapan, penempatan dan pengembangan kawasan transmigrasi,
2. menumbuhkan komitmen, kompetensi dan kepedulian lingkungan di kalangan berbagai pihak yang terlibat dalam fasilitas pembangunan kawasan transmigrasi yang berwawasan lingkungan, yakni para pengambil keputusan, pimpinan unit kerja dan pelaksana teknis baik di pusat maupun daerah,
3. membangun jaringan kemitraan dengan para pihak (stake holders) secara sistematis untuk meningkatkan efektivitas pemberdayaan sumberdaya di kawasan transmigrasi,
4. memfasilitasi terselenggaranya upaya-upaya konservasi, pemanfaatan lahan tidak produktif dan rehabilitasi sumber daya alam yang telah mengalami kerusakan untuk meningkatkan mutu kehidupan penduduk dan lingkungan hidup kawasan transmigrasi,
5. memberikan pendampingan teknis untuk meningkatkan dan memperkuat kapasitas penyelenggaraan kegiatan ketransmigrasian yang berwawasan lingkungan di pemerintah Kabupaten/kota maupun di Pusat,
6. menyelenggarakan pemantauan (monitoring), pengawasan (surveillance) dan pemeriksaan (inspection) terhadap mutu pelaksanaan pembangunan kawasan transmigrasi.
Program
Berkenaan dengan prinsip-prinsip, strategi, arah kebijakan dan pola penyelenggaraan transmigrasi yang saat ini berlangsung, maka berikut dituangkan program-program untuk mengimplementasikan dan merealisasikan kawasan transmigrasi yang berwawasan lingkungan.
- Sistem Data dan Informasi Lingkungan
Merancang dan membangun sistem jaringan data dan informasi untuk mendukung upaya intervensi aspek lingkungan dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, pencegahan dan pengendalian kerusakan lingkungan di kawasan Transmigrasi.
- Pengendalian Kerusakan Lingkungan
Program ini akan dikembangkan dan dilaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
• Melakukan penyusunan dan penilaian terhadap kelayakan lingkungan (AMDAL) pembangunan kawasan transmigrasi baru.
• Mengefektifkan pelaksanaan supervisi atau inspeksi terhadap kawasan transmigrasi.
• Melaksanakan pemantauan lingkungan di kawasan transmigrasi.
• Mensosialisasikan dan memfasilitasi diimplementasikannya pedoman, prosedur teknis dan standar-standar teknis pembangunan kawasan transmigrasi yang berwawasan lingkungan kepada pemerintah daerah dan pihak terkait lainnya yang melakukan penyelenggaraan transmigrasi.
- Peningkatan Keterlibatan Masyarakat
• Mendorong keterlibatan masyarakat dalam merancang dan mengembangkan pola usaha yang adaptif secara ekologi dan sinergis dengan pengembangan wilayah
• Mendorong keterlibatan masyarakat dalam upaya konservasi dan rehabilitasi kerusakan lingkungan.
• Membangun forum komunikasi antar pihak (stakeholders) dalam rangka mendorong keterlibatan masyarakat dalam upaya pencegahan dan pengendalian kerusakan lingkungan.
- Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia
Menyelenggarakan atau memfasilitasi terselenggaranya pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kepedulian lingkungan di kalangan pengambil keputusan, perencana dan pelaksana pembangunan kawasan transmigrasi; termasuk di sini pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kompetensi dalam pembangunan kawasan transmigrasi yang ramah lingkungan. Pelatihan ini ditujukan baik untuk aparat Pusat, Propinsi dan Kabupaten serta pihak-pihak berkepentingan dengan upaya pencegahan dan pengendalian kerusakan lingkungan.
- Konservasi dan Rehabilitasi Lingkungan
• Mengidentifikasi, merencanakan dan melakukan upaya rehabilitasi kerusakan hutan, tanah dan air di sekitar kawasan transmigrasi dengan mengikutsertakan keterlibatan masyarakat. Rehabilitasi ini diarahkan untuk meningkatkan produktivitas lahan yang ada pada saat ini di kawasan transmigrasi secara berkesinambungan.
• Mengidentifikasi, merencanakan dan melakukan upaya-upaya konservasi hutan, tanah dan air di sekitar kawasan transmigrasi dengan mengikutsertakan keterlibatan masyarakat.
- Pengembangan Komunitas Lingkungan Hidup
Pengembangan komunitas lingkungan hidup dilakukan pada setiap tingkat mulai dari basis lokal sampai ke pusat. Hal ini dapat dilakukan melalui pembangunan jejaring yang berlandaskan prinsip-prinsip kesetaraan, transparansi, kejujuran, integrasi dan dedikasi untuk mencapai tujuan bersama yaitu mewujudkan lingkungan yang serasi dari segi geofisik, sosial budaya dan ekonomi, dengan mensinergikan berbagai kegiatan stake holder.
BAB V P E N U T U P
Dokumen ini mengungkapkan gagasan dan konsep tentang pembangunan kawasan transmigrasi yang berwawasan lingkungan berikut dengan bagaimana mewujudkannya secara terarah dan sistematis. Selain itu dalam dokumen ini dimuat pula prinsip-prinsip dasar, strategi, arah kebijakan dan program-program untuk merealisasikan kawasan transmigrasi yang berwawasan lingkungan.
Upaya mewujudkan kawasan transmigrasi yang berwawasan lingkungan membawa implikasi bahwa Depnakertrans, khususnya Ditjen PSKT tidak dapat lagi menangani pekerjaan ketransmigrasian seperti biasanya (business as usual), namun diperlukan perubahan paradigma, visi, komitmen baru, kerangka pikir baru dan cara kerja baru untuk mengimplementasikan kawasan transmigrasi yang berwawasan lingkungan. Kesadaran dan komitmen untuk melakukan perubahan pola fikir, pola sikap dan pola tindak di kalangan internal organisasi Ditjen PSKT Depnakertrans menjadi penting untuk diutamakan terlebih dahulu. Inilah sesungguhnya salah satu makna penting dari lahirnya gagasan dan konsepsi tentang kawasan transmigrasi yang berwawasan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 1992, Prosiding Seminar dan Lokakarya Perencanaan Pemukiman Transmigrasi, Direktorat Jenderal Penyiapan Pemukiman, Departemen Transmigrasi.
Anonimous, 1999, Penataan Kewenangan dan Organisasi Departemen Transmigrasi dan PPH yang Akan Datang, Departemen Transmigrasi dan PPH.
Anonimous, 2001, Materi Pelatihan Kader Keserasian Lingkungan, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup-IPB, Bogor.
Budihardjo.E dan Hardjohubbojo,S 1993 Kota Berwawasan Lingkungan,Penerbit Alumni Bandung
Carpa, Fritjof. 1999, Titik Balik Peradaban, Terjemahan The turning Point: Science, Society and The Rising Cultur e, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta.
Mitchell,B Setiawan B dan Rahmi, DH, 2000, Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisa Mengenai Dampak Lingkungan.
Schmidheiny,S 1992, Mengubah Haluan Industri Berwawasan Lingkungan, Penerbit ITB, Bandung
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 15 tahun 1997 tentang Ketransmigrasian.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
0 komentar
Posting Komentar