Limbah pertanian (by-product) olahan memiliki kandungan protein 12% lebih tinggi daripada kandungan protein rumput sekitar 9%. Palatabilitas pakan olahan lebih baik karena mengandung molase dan pikuten (mineral komersial) (Sariubang, 2010). Limbah pertanian dapat diolah menjadi pupuk organik, pakan ternak, dan dedak sebagai berikut:
1. Pengolahan Jerami Sebagai Pupuk.
Pembakaran jerami akan mengurangi unsur hara yang terkandung di dalamnya, sedangkan penelantaran jerami di lahan garapan meskipun unsur hara yang dikandungnya relatif masih tersedia, namun memerlukan waktu untuk cepat diikat oleh partikel tanah, sehingga proses penyuburan kembali tanah membutuhkan waktu yang cukup lama. Menurut Abdulrachman et al. (2013), pembuatan kompos jerami dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Ditumpuk dan dibalikkan, dan
2. Ditumpuk dengan ventilasi tanpa dibalikkan, untuk mempercepat proses dekomposisi menggunakan dekomposer.
Beberapa dekomposer komersial yang digunakan mengandung beberapa macam mikroba, misalnya M-Dec mengandung Trichoderma harzianum, Aspergillus sp., dan Trametes sp. Orgadec mengandung Trichoderma pseudokoningi, dan Cytophaga sp.EM-4 mengandung bakteri fotosintesis, asam laktat, Actinomycetes, ragi, dan jamur fermentasi.
Probion adalah bahan pakan aditif ternak yang dapat digunakan secara langsung sebagai bahan campuran pakan konsentrat atau meningkatkan kualitas jerami padi melalui proses fermentasi. Probion merupakan konsorsia mikroba dari rumen ternak ruminansia yang diperkaya dengan mineral esensial untuk pertumbuhan mikroba tersebut (Haryanto, 2012). Kompos yang telah matang ditandai dengan temperatur yang sudah konstan 40-50 oC, remah, dan berwarna coklat kehitaman. Kompos yang didapat sejumlah ± 500 kg dengan kualitas C-organik >12%, C/N ratio 15-25%, kadar air 40-50%, dan warna coklat muda kehitaman.
2. Pengolahan Jerami Sebagai Pakan Ternak Sapi
Potensi limbah pertanian berupa jerami sangat berlimpah, namun belum dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi. Kendala utama dari pemanfaatan jerami sebagai pakan ternak adalah kandungan serat kasar tinggi dan protein serta kecernaan yang rendah. Penggunaan jerami secara langsung atau sebagai pakan tunggal tidak dapat memenuhi pasokan nutrisi yang dibutuhkan ternak (Yunilas, 2009). Nilai gizi jerami dapat ditingkatkan melalui fermentasi probiotik dan hampir menyamai kualitas rumput gajah.
Jerami yang sudah difermentasikan harus disimpan di tempat kering agar mutunya terjaga (Ibrahim et al., 2000). Jerami sebagai pakan ternak dapat mengefisienkan tenaga kerja untuk mencari rumput. Bahkan telah dilakukan penelitian dan pengkajian pemberian limbah pertanian jerami untuk ternak dengan menambahkan mikroba dan urea (Ibrahim et al., 2000). Menurut Haryanto et al. (2002), setiap hektar sawah menghasilkan jerami segar 12-15 ton/ha/musim dan setelah melalui proses fermentasi menghasilkan 5-8 ton/ha yang dapat digunakan untuk pakan 2-3 ekor sapi/tahun. Menurut Haryanto (2004), produksi jerami padi tersebut dapat memenuhi kebutuhan pakan ternak sebanyak 1.196.432 ekor/musim.
Menurut Syamsu (2006), komposisi nutrisi jerami padi yang telah difermentasi dengan menggunakan starter mikroba (starbio) sebanyak 0,06% dari berat jerami padi, secara umum memperlihatkan peningkatan kualitas dibanding jerami padi yang tidak difermentasi. Kadar protein kasar jerami padi yang difermentasi mengalami peningkatan dari 4,23% menjadi 8,14% dan diikuti dengan penurunan kadar serat kasar.
Hal ini menunjukkan indikasi bahwa starter mikroba merupakan mikroba proteolitik yang menghasilkan enzim protease yang dapat merombak protein menjadi polipeptida yang selanjutnya menjadi peptide sederhana. Penggunaan starter mikroba menurunkan kadar dinding sel jerami padi dari 73,41% menjadi 66,14%. Selama fermentasi terjadi pemutusan ikatan lignoselulosa dan hemiselulosa jerami padi.
Mikroba lignolitik dalam starter mikroba membantu perombakan ikatan lignoselulosa, sehingga selulosa dan lignin dapat terlepas dari ikatan tersebut oleh enzim lignase. Fenomena ini terlihat dengan menurunnya kandungan selulosa dan lignin jerami padi yang difermentasi. Lignin merupakan benteng pelindung fisik yang menghambat daya cerna enzim terhadap jaringan tanaman dan lignin berikatan erat dengan hemiselulosa. Di lain pihak dengan menurunnya kadar dinding sel menunjukkan telah terjadi pemecahan selulosa dinding sel sehingga pakan akan menjadi lebih mudah dicerna oleh ternak.
Hasil fermentasi jerami mampu meningkatkan kadar gizi yang dikandungnya sehingga diharapkan berdampak terhadap pertambahan bobot hidup ternak. Menurut Suyasa et al. (2004), sapi-sapi yang diberikan pakan tambahan seperti jerami dan probiotik mampu memberikan pertambahan bobot hidup 0,56-0,68 kg/ekor/hari lebih tinggi dibandingkan cara petani. Untuk jerami fermentasi memiliki peluang sebagai pengganti rumput yang selama ini dimanfaatkan sebagai pakan utama ternak khususnya sapi, karena ke depan nampaknya lahan akan semakin sulit sedangkan di sisi lain ternak semakin dibutuhkan.
3. Pemanfaatan Dedak sebagai Pakan Ternak
Dedak merupakan hasil sampingan proses penggilingan padi menjadi beras yang terdiri dari lapisan aleuron dan sebagian kecil endosperma, pericarp, pegmen, dan germ (Tangendjaja, 1988). Dedak dihasilkan sebanyak 8-10% dari berat padi yang digiling, sehingga ketersediannya cukup melimpah. Menurut Udiyono (1987), dedak padi secara kimiawi mengandung bahan kering 88,30%; serat kasar 15,30%; abu 9,90%, protein kasar 10,10%, lemak kasar 4,90%, dan BETN 48,10%.
Dedak merupakan sumber karbohidrat yang mudah tersedia dan sangat efektif dalam memperbaiki kualitas fermentasi dan jerami padi (Bolsen et al., 1996). Pemberian dedak dan probiotik bioplas pada induk bunting sapi lokal DAS Katingan dapat meningkatkan bobot badan induk sapi sekitar 0,5 kg/ekor/hari dan dapat meningkatkan bobot lahir anak sekitar 10,5 kg dibandingkan kontrol 8,9 kg.
Konsumsi pakan meningkat sekitar 5,2 kg. Selain itu, pemberian dedak dan probiotik bioplas pada induk sapi lokal DAS Katingan dapat estrus kembali setelah 62 hari setelah melahirkan dibandingkan dengan kontrol sekitar 85 hari setelah melahirkan (Salfina, 2012).
0 komentar
Posting Komentar